Senin, 24 November 2014

Model dan Prinsip-prinsip Penerjemahan Idiom dan Gaya Bahasa dari Bahasa Inggris ke Bahasa Indonesia

Terjemahan Inggris-Indonesia: Model dan Prinsip-prinsip Penerjemahan Idiom dan Gaya Bahasa dari Bahasa Inggris ke Bahasa Indonesia

a.    Idiom
Yang dimaksud dengan idiom dalam hal ini adalah sekelompok kata yang maknanya tidak dapat dicari dari makna kata-kata unsurnya. Berikut beberapa pendapat dari para pakar linguistik yang memberi komentar terhadap pengertian idiom.
Crystal (1985: 152) menyatakan bahwa idiom atau idiomatik adalah istilah yang digunakan dalam grammar dan lexicology yang merujuk kepada serangkaian kata yang terbatas secara semantis dan sintaksis, sehingga hanya berfungsi sebagai satuan tunggal (single unit). Misalnya ungkapan It’s raining cat and dogs tidak bisa diterjemahkan satu persatu karena ungkapan tersebut adalah ungkapan idiomatik (idiomatic expression) yang harus diterjemahkan secara idiomatik juga, sehingga terjemahannya menjadi ’Hujan lebat’. Richards (1992: 172) menambahkan bahwa idiom adalah sebuah ungkapan yang berfungsi sebagai satuan tunggal dan maknanya tidak bisa dipecah-pecah, contohnya She washed her hands of the matter = She refused to have anything more to do with the matter.
Wang (2009) menyatakan bahwa idiom harus diterjemahkan ke dalam idiom. Jika penerjemah tidak menemukan idiom yang tepat, maka dia harus mencari padanannya. Cara yang dapat digunakan adalah paraphrase dan menjaga rasa aslinya (the original flavor) atau mencari strategi penerjemahan lainnya. Jadi semua nilai estetika dalam novel asli harus diupayakan muncul dalam novel terjemahan. Selanjutnya Retmono (2009) menambahkan bahwa ungkapan  idiomatik sebaiknya diterjemahkan ke dalam ungkapan idiomatik juga, begitu pula metafora dan personifikasi. Penerjemah harus berupaya mencari padanannya atau menggantinya (replacing) dalam bahasa sasaran. Kemudian Huang dan Wang (2006: 2) mengemukakan bahwa ada tiga strategi yang dapat digunakan untuk menerjemahkan idiom. Pertama, menggunakan metode penerjemahan harfiah, yaitu mereproduksi isi dan gaya dari keseluruhan teks dengan tetap memperhatikan bentuk gaya bahasanya dan struktur atau pola kalimatnya. Kedua, menggunakan metode penerjemahan harfiah dengan kompensasi, yaitu menyampaikan makna harfiah sebuah idiom dalam teks sumber  dengan cara memperkenalkan informasi penjelas atau efek stilistik dalam teks sasaran). Ketiga, menggunakan metode penerjemahan bebas, yaitu menyampaikan makna dan ruh dari ungkapan idiomatik teks sumber (Tsu) tanpa melakukan reproduksi pola kalimat atau gaya bahasa yang sama, tetapi menafsirkannya dalam teks sasaran (Tsa) secara optimal.
 Prinsip-prinsip Penerjemahan Idiom dan Gaya Bahasa
1)   Idiom dalam teks sumber seharusnya diterjemahkan ke dalam idiom dalam Tsa dengan metode penerjemahan idiomatik, yaitu metode yang menerjemahkan idiom dalam bahasa sumber (Bsu) menjadi idiom dalam bahasa sasaran (Bsa).
2)   Idiom dapat diterjemahkan dengan metode penerjemahan literal, yaitu metode penerjemahan yang konsisten menerjemahkan isi dan gaya dari keseluruhan teks dengan tetap memperhatikan unsur-unsur gramatika dan struktur bahasa sasaran.
3)   Idiom dapat diterjemahkan dengan metode penerjemahan literal dengan teknik kompensasi, yaitu tetap memperhatikan isi dan gaya dari ekspresi bahasa sumber (Bsu) dengan melakukan kompensasi (memperkenalkan bentuk lain dalam rangka menjaga informasi) dalam bahasa sasaran (Bsa).
4)   Idiom dapat diterjemahkan dengan metode penerjemahan bebas, yaitu metode penerjemahan yang menyampaikan makna dan jiwa teks sumber tanpa mereproduksi pola kalimat dan gaya bahasanya dalam teks sasaran.
5)   Idiom dapat diterjemahkan dengan teknik parafrasa atau amplifikasi, yaitu teknik mengungkapkan kembali makna idiom dengan cara menggunakan kata-kata atau frasa yang lain untuk memperjelas makna agar lebih mudah dipahami.

b. Metafora
Holman dan Harmon (1992: 287) menyatakan bahwa metafora adalah analogi yang membandingkan antara satu objek dengan objek yang lainnya secara langsung atau dengan kata lain adalah majas yang mengungkapkan ungkapan secara langsung. Misalnya She is my hearth adalah contoh dari gaya bahasa metafora karena seseorang (she) dalam kalimat di atas disamakan dengan hearth = jantung hatiku. Bagaimana bisa seseorang sebagai manusia disamakan dengan jantung. Hal semacam ini membutuhkan kepiawaian seorang penerjemah untuk mencari padanan majas tersebut dengan tepat dalam Bsa. Ungkapan tersebut dapat diterjemahkan menjadi ’Dia belahan jantung hatiku.’Perhatikan contoh-contoh di bawah ini.
1. Tsu  : He is a book-worm.
Tsa   : Dia seorang kutu buku.
2. Tsu  : You are the sunshine of my life.
Tsa   : Kau adalah pelita hidupku.
Penerjemahan metafora sangat berbeda dengan penerjemahan tuturan biasa. Metafora (metaphor) adalah bentuk bahasa sastra yang rumit dan sulit untuk diterjemahkan. Metafora mengandung ranah sasaran (target domain), yaitu konsep yang digambarkan atau sebagai bagian awal dan ranah sumber (source domain), yaitu konsep perbandingan atau analoginya. Menurut Richards dalam Saeed (1997: 302-303), konsep pertama disebut tenor sedangkan yang kedua disebut vehicle. Gaya bahasa metafora dapat diterjemahkan dengan beberapa prosedur dan pendekatan yang memungkinkan. Penerjemah harus mencari padanan metafora yang tepat dan mengungkapkannya dengan makna yang sepadan. Barańczak (1990) dalam Dobrzyfńska (1995: 599) mengemukakan tiga prosedur yang mungkin dilakukan dalam menerjemahkan metafora. Pertama, prosedur M→M, yaitu menggunakan metafora yang benar-benar sepadan dengan metafora aslinya (using an exact equivalent of the original metaphor). Kedua, prosedur M1→M2, yaitu mencari ungkapan metafora yang mengandung makna yang sama (looking for another metaphorical phrase which would express a similar sense). Ketiga, M→P, yaitu mengganti metafora asli (yang tidak dapat diterjemahkan) dengan literal paraphrase yang memungkinkan (replacing an untranslatable metaphor of the original with its approximate literal paraphrase).

c. Kiasan
Tamsil atau kiasan (simile) adalah majas yang mengungkapkan ungkapan secara tidak langsung atau perbandingan dua objek yang berbeda sama sekali dengan dasar kemiripan dalam satu hal (Holman dan Harmon, 1995: 445). Metafora memiliki ciri perbandingan dengan menggunakan kata kerja bantu BE saja, sedangkan kiasan (simile) ini menggunakan kata-kata penghubung like, as, such as, as if, seem. Misalnya, My house is like your house (=’Rumahku mirip rumahmu’). Moentaha (2006: 190) berpendapat bahwa tamsil atau kiasan ini adalah perbandingan antara dua objek yang berlainan kelas. Simile, sebagai sarana stilistis, digunakan untuk menekankan ciri-ciri tertentu dari objek yang satu dibandingkan dengan ciri-ciri tertentu dari objek yang lain yang berbeda kelasnya. Sehingga jika ada kiasan semacam berikut: The boy seems to be as clever as his mother (‘Anak lelaki itu sepandai ibunya), bukanlah tamsil atau kiasan (simile) tetapi perbandingan biasa (ordinary comparison) karena boy dan mother berasal dari kelas yang sama. Menurut dia, contoh simile yang tepat adalah He is as brave as a lion yang diterjemahkan menjadi ‘Dia seberani banteng’ atau ‘Dia seberani pendekar’. Kata ‘banteng’ dan ‘pendekar’ sangat cocok di telinga orang Indonesia daripada kata ‘singa’, karena ‘singa’ adalah binatang buas yang kesannya kurang tepat. Jadi perbandingan itu sendiri kadangkala harus ditujukan atau disesuaikan dengan konteks sosiokultural pengguna Bsa.

d. Personifikasi
Frye (1985: 345) mengemukakan bahwa personifikasi adalah teknik memperlakukan segala sesuatu yang abstrak, benda atau binatang seperti manusia. Dalam bahasa Indonesia ada personifikasi ‘Saat kulihat rembulan, dia tersenyum kepadaku seakan-akan aku merayunya’. Jika diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi When I saw the moon, she smiled at me as if I flattered her. Lin (2008: 471) menyatakan bahwa personifikasi merupakan proses pengaktualisasian benda selain manusia secara simbolis dan menganggap benda tersebut sebagai makhluk hidup. Berikut adalah beberapa contoh tentang personifikasi dan terjemahannya:
  1. The sun played peek-a-boo with the clouds (Matahari bermain cilukba dengan awan).
  2. The wind cried in the dark (Angin menangis di gelap malam).
  3. The lights blinked in the distance (Sinar berkedip dari kejauhan).
  4. The snow kissed my cheeks as it fell (Salju mencium pipiku ketika turun).
  5. The iron danced across the silken shirt (Setrikaan menari-nari di atas kemeja sutra).
  6.  The leaves waved goodbye to the tree (Dedaunan itu melambaikan salam perpisahan pada sang pohon).
Xiaoshu dan Dongming (2003: 2) berpendapat bahwa  personifikasi dapat diterjemahkan ke dalam bentuk tuturan yang sepadan dengan menggunakan metode penerjemahan semantik yang luwes berestetika (Newmark 1998), metode penerjemahan bebas yang mengutamakan isi dengan bentuk parafrasa yang panjang (Moentaha, 2006), metode penerjemahan idiomatik yang alamiah (Choliludin, 2006) atau metode penerjemahan komunikatif yang sangat memperhatikan makna kontekstual secara kebahasaan dan isi (Machali, 2009).

e. Aliterasi
Aliterasi adalah sarana stilistis yang mengulang bunyi konsonan yang sama di permulaan kata yang membentuk rangkaian kata yang mapan, biasanya berpasangan (Moentaha, 2006: 182). Aliterasi ini sering muncul dalam karya sastra baik puisi maupun prosa atau sering muncul dalam headline surat jabar sebagai ungkapan daya tarik bagi pembaca seperti Summer of Support, Quips and Quirks, Frenzy at Franconia, Face the Future. Bagaimana kasus aliterasi ini jika diterjemahkan?
Seorang penerjemah harus mampu menerjemahkan aliterasi menjadi aliterasi juga agar rasa indah dalam hasil terjemahannya (Tsa) sama dengan nilai estetika dalam Tsu, sekalipun ia harus mencari kata-kata yang sangat jauh padanannya atau bahkan tidak sepadan asalkan nuansa aliterasinya muncul dalam produk terjemahannya. Perhatikan contoh berikut:
Tsu      : … between promise and performance.
Tsa 1    : … antara janji dan pelaksanaannya. (tidak beraliterasi)
Tsa 2    : … antara perkataan dan perbuatan. (beraliterasi)
Di samping itu ada contoh lain yang cukup baik, yaitu aliterasi ‘black beard’ yang diterjemahkan oleh penerjemah menjadi ‘janggut hitam’, sangat bagus jika diterjemahkan menjadi frase beraliterasi ‘janggut jelaga’. Jika penerjemah tidak menerjemahkan aliterasi ke dalam aliterasi dengan tetap mencari padanan yang paling dekat, maka efeknya akan lain dan hasil terjemahannya tidak “nyastra”, artinya hampa dari nilai sastra, karena teks sumbernya sendiri berbentuk karya sastra (Retmono, 2009).
Jika penerjemah tidak mampu menerjemahkan aliterasi ke dalam ungkapan bahasa sasaran yang lebih idiomatis, maka dia sebaiknya berupaya menerjemahkannya ke dalam bentuk aliterasi atau gaya bahasa lain yang memungkinkan dalam bahasa sasaran, asalkan memiliki equivalensi yang tepat. Demikian pula untuk kasus yang lainnya, penerjemah harus mencari padanan dalam bahasa sasaran dengan tetap memelihara unsur idiomatisnya (Wang, 2009).



Tidak ada komentar:

Posting Komentar