Terjemahan Inggris-Indonesia: Model dan Prinsip-prinsip Penerjemahan Idiom dan Gaya Bahasa dari Bahasa Inggris ke Bahasa Indonesia
a. Idiom
Yang dimaksud dengan idiom dalam hal ini adalah sekelompok kata yang
maknanya tidak dapat dicari dari makna kata-kata unsurnya. Berikut beberapa
pendapat dari para pakar linguistik yang memberi komentar terhadap pengertian
idiom.
Crystal (1985: 152) menyatakan bahwa idiom atau idiomatik adalah istilah
yang digunakan dalam grammar dan lexicology yang
merujuk kepada serangkaian kata yang terbatas secara semantis dan sintaksis,
sehingga hanya berfungsi sebagai satuan tunggal (single unit). Misalnya
ungkapan It’s raining cat and dogs tidak bisa diterjemahkan
satu persatu karena ungkapan tersebut adalah ungkapan idiomatik (idiomatic
expression) yang harus diterjemahkan secara idiomatik juga, sehingga
terjemahannya menjadi ’Hujan lebat’. Richards (1992: 172) menambahkan bahwa
idiom adalah sebuah ungkapan yang berfungsi sebagai satuan tunggal dan maknanya
tidak bisa dipecah-pecah, contohnya She washed her hands of the matter
= She refused to have anything more to do with the matter.
Wang (2009) menyatakan bahwa idiom harus diterjemahkan ke dalam idiom. Jika
penerjemah tidak menemukan idiom yang tepat, maka dia harus mencari padanannya.
Cara yang dapat digunakan adalah paraphrase dan menjaga rasa
aslinya (the original flavor) atau mencari strategi penerjemahan lainnya.
Jadi semua nilai estetika dalam novel asli harus diupayakan muncul dalam novel
terjemahan. Selanjutnya Retmono (2009) menambahkan bahwa ungkapan
idiomatik sebaiknya diterjemahkan ke dalam ungkapan idiomatik juga, begitu pula
metafora dan personifikasi. Penerjemah harus berupaya mencari padanannya atau
menggantinya (replacing) dalam bahasa sasaran. Kemudian Huang dan Wang
(2006: 2) mengemukakan bahwa ada tiga strategi yang dapat digunakan untuk
menerjemahkan idiom. Pertama, menggunakan metode penerjemahan harfiah, yaitu
mereproduksi isi dan gaya dari keseluruhan teks dengan tetap memperhatikan
bentuk gaya bahasanya dan struktur atau pola kalimatnya. Kedua, menggunakan
metode penerjemahan harfiah dengan kompensasi, yaitu menyampaikan makna harfiah
sebuah idiom dalam teks sumber dengan cara memperkenalkan informasi
penjelas atau efek stilistik dalam teks sasaran). Ketiga, menggunakan metode
penerjemahan bebas, yaitu menyampaikan makna dan ruh dari ungkapan idiomatik
teks sumber (Tsu) tanpa melakukan reproduksi pola kalimat atau gaya bahasa yang
sama, tetapi menafsirkannya dalam teks sasaran (Tsa) secara optimal.
Prinsip-prinsip Penerjemahan Idiom dan Gaya
Bahasa
1) Idiom dalam teks sumber seharusnya diterjemahkan ke dalam
idiom dalam Tsa dengan metode penerjemahan idiomatik, yaitu metode yang
menerjemahkan idiom dalam bahasa sumber (Bsu) menjadi idiom dalam bahasa
sasaran (Bsa).
2) Idiom dapat diterjemahkan dengan metode penerjemahan
literal, yaitu metode penerjemahan yang konsisten menerjemahkan isi dan gaya
dari keseluruhan teks dengan tetap memperhatikan unsur-unsur gramatika dan
struktur bahasa sasaran.
3) Idiom dapat diterjemahkan dengan metode penerjemahan literal
dengan teknik kompensasi, yaitu tetap memperhatikan isi dan gaya dari ekspresi
bahasa sumber (Bsu) dengan melakukan kompensasi (memperkenalkan bentuk lain
dalam rangka menjaga informasi) dalam bahasa sasaran (Bsa).
4) Idiom dapat diterjemahkan dengan metode penerjemahan bebas,
yaitu metode penerjemahan yang menyampaikan makna dan jiwa teks sumber tanpa
mereproduksi pola kalimat dan gaya bahasanya dalam teks sasaran.
5) Idiom dapat diterjemahkan dengan teknik parafrasa atau
amplifikasi, yaitu teknik mengungkapkan kembali makna idiom dengan cara
menggunakan kata-kata atau frasa yang lain untuk memperjelas makna agar lebih
mudah dipahami.
b. Metafora
Holman dan Harmon (1992: 287) menyatakan bahwa metafora adalah analogi yang
membandingkan antara satu objek dengan objek yang lainnya secara langsung atau
dengan kata lain adalah majas yang mengungkapkan ungkapan secara langsung.
Misalnya She is my hearth adalah contoh dari gaya bahasa
metafora karena seseorang (she) dalam kalimat di atas disamakan
dengan hearth = jantung hatiku. Bagaimana bisa seseorang
sebagai manusia disamakan dengan jantung. Hal semacam ini membutuhkan
kepiawaian seorang penerjemah untuk mencari padanan majas tersebut dengan tepat
dalam Bsa. Ungkapan tersebut dapat diterjemahkan menjadi ’Dia belahan jantung
hatiku.’Perhatikan contoh-contoh di bawah ini.
1. Tsu
: He is a book-worm.
Tsa :
Dia seorang kutu buku.
2. Tsu
: You are the sunshine of my life.
Tsa :
Kau adalah pelita hidupku.
Penerjemahan metafora sangat berbeda dengan penerjemahan tuturan biasa.
Metafora (metaphor) adalah bentuk bahasa sastra yang rumit dan sulit
untuk diterjemahkan. Metafora mengandung ranah sasaran (target domain),
yaitu konsep yang digambarkan atau sebagai bagian awal dan ranah sumber (source
domain), yaitu konsep perbandingan atau analoginya. Menurut Richards dalam
Saeed (1997: 302-303), konsep pertama disebut tenor sedangkan
yang kedua disebut vehicle. Gaya bahasa metafora dapat
diterjemahkan dengan beberapa prosedur dan pendekatan yang memungkinkan.
Penerjemah harus mencari padanan metafora yang tepat dan mengungkapkannya
dengan makna yang sepadan. Barańczak (1990) dalam Dobrzyfńska (1995: 599)
mengemukakan tiga prosedur yang mungkin dilakukan dalam menerjemahkan metafora.
Pertama, prosedur M→M, yaitu menggunakan metafora yang benar-benar sepadan
dengan metafora aslinya (using an exact equivalent of the original metaphor).
Kedua, prosedur M1→M2, yaitu mencari ungkapan metafora yang
mengandung makna yang sama (looking for another metaphorical phrase which
would express a similar sense). Ketiga, M→P, yaitu mengganti metafora asli
(yang tidak dapat diterjemahkan) dengan literal paraphrase yang
memungkinkan (replacing an untranslatable metaphor of the original with its
approximate literal paraphrase).
c. Kiasan
Tamsil atau kiasan (simile) adalah majas yang mengungkapkan ungkapan
secara tidak langsung atau perbandingan dua objek yang berbeda sama sekali
dengan dasar kemiripan dalam satu hal (Holman dan Harmon, 1995: 445). Metafora
memiliki ciri perbandingan dengan menggunakan kata kerja bantu BE saja,
sedangkan kiasan (simile) ini menggunakan kata-kata penghubung like,
as, such as, as if, seem. Misalnya, My house is like your house (=’Rumahku
mirip rumahmu’). Moentaha (2006: 190) berpendapat bahwa tamsil atau kiasan ini
adalah perbandingan antara dua objek yang berlainan kelas. Simile,
sebagai sarana stilistis, digunakan untuk menekankan ciri-ciri tertentu dari
objek yang satu dibandingkan dengan ciri-ciri tertentu dari objek yang lain
yang berbeda kelasnya. Sehingga jika ada kiasan semacam berikut: The
boy seems to be as clever as his mother (‘Anak lelaki itu sepandai
ibunya), bukanlah tamsil atau kiasan (simile) tetapi perbandingan biasa
(ordinary comparison) karena boy dan mother berasal
dari kelas yang sama. Menurut dia, contoh simile yang tepat
adalah He is as brave as a lion yang diterjemahkan menjadi
‘Dia seberani banteng’ atau ‘Dia seberani pendekar’. Kata ‘banteng’ dan
‘pendekar’ sangat cocok di telinga orang Indonesia daripada kata ‘singa’,
karena ‘singa’ adalah binatang buas yang kesannya kurang tepat. Jadi
perbandingan itu sendiri kadangkala harus ditujukan atau disesuaikan dengan
konteks sosiokultural pengguna Bsa.
d. Personifikasi
Frye (1985: 345) mengemukakan bahwa personifikasi adalah teknik
memperlakukan segala sesuatu yang abstrak, benda atau binatang seperti manusia.
Dalam bahasa Indonesia ada personifikasi ‘Saat kulihat rembulan, dia tersenyum
kepadaku seakan-akan aku merayunya’. Jika diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris
menjadi When I saw the moon, she smiled at me as if I
flattered her. Lin (2008: 471) menyatakan bahwa personifikasi
merupakan proses pengaktualisasian benda selain manusia secara simbolis dan
menganggap benda tersebut sebagai makhluk hidup. Berikut adalah beberapa contoh
tentang personifikasi dan terjemahannya:
- The sun played peek-a-boo with the clouds (Matahari bermain cilukba dengan awan).
- The wind cried in the dark (Angin menangis di gelap malam).
- The lights blinked in the distance (Sinar berkedip dari kejauhan).
- The snow kissed my cheeks as it fell (Salju mencium pipiku ketika turun).
- The iron danced across the silken shirt (Setrikaan menari-nari di atas kemeja sutra).
- The leaves waved goodbye to the tree (Dedaunan itu melambaikan salam perpisahan pada sang pohon).
Xiaoshu dan
Dongming (2003: 2) berpendapat bahwa personifikasi dapat diterjemahkan ke
dalam bentuk tuturan yang sepadan dengan menggunakan metode penerjemahan
semantik yang luwes berestetika (Newmark 1998), metode penerjemahan bebas yang
mengutamakan isi dengan bentuk parafrasa yang panjang (Moentaha, 2006), metode
penerjemahan idiomatik yang alamiah (Choliludin, 2006) atau metode penerjemahan
komunikatif yang sangat memperhatikan makna kontekstual secara kebahasaan dan
isi (Machali, 2009).
e. Aliterasi
Aliterasi adalah sarana stilistis yang mengulang bunyi konsonan yang sama
di permulaan kata yang membentuk rangkaian kata yang mapan, biasanya
berpasangan (Moentaha, 2006: 182). Aliterasi ini sering muncul dalam karya
sastra baik puisi maupun prosa atau sering muncul dalam headline surat
jabar sebagai ungkapan daya tarik bagi pembaca seperti Summer
of Support, Quips and Quirks, Frenzy
at Franconia, Face the Future. Bagaimana kasus aliterasi ini
jika diterjemahkan?
Seorang penerjemah
harus mampu menerjemahkan aliterasi menjadi aliterasi juga agar rasa indah
dalam hasil terjemahannya (Tsa) sama dengan nilai estetika dalam Tsu, sekalipun
ia harus mencari kata-kata yang sangat jauh padanannya atau bahkan tidak
sepadan asalkan nuansa aliterasinya muncul dalam produk terjemahannya.
Perhatikan contoh berikut:
Tsu
: … between promise and performance.
Tsa
1 : … antara janji dan pelaksanaannya. (tidak beraliterasi)
Tsa
2 : … antara perkataan dan perbuatan.
(beraliterasi)
Di samping itu ada contoh lain yang cukup baik, yaitu aliterasi ‘black beard’
yang diterjemahkan oleh penerjemah menjadi ‘janggut hitam’, sangat bagus jika
diterjemahkan menjadi frase beraliterasi ‘janggut jelaga’.
Jika penerjemah tidak menerjemahkan aliterasi ke dalam aliterasi dengan tetap
mencari padanan yang paling dekat, maka efeknya akan lain dan hasil
terjemahannya tidak “nyastra”, artinya hampa dari nilai sastra, karena teks
sumbernya sendiri berbentuk karya sastra (Retmono, 2009).
Jika penerjemah tidak mampu menerjemahkan aliterasi ke dalam ungkapan
bahasa sasaran yang lebih idiomatis, maka dia sebaiknya berupaya
menerjemahkannya ke dalam bentuk aliterasi atau gaya bahasa lain yang
memungkinkan dalam bahasa sasaran, asalkan memiliki equivalensi yang tepat.
Demikian pula untuk kasus yang lainnya, penerjemah harus mencari padanan dalam
bahasa sasaran dengan tetap memelihara unsur idiomatisnya (Wang, 2009).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar